Ajaran Sehat

AJARAN SEHAT 

Oleh: ©Pdt. Yoshua Chendana 

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang, artinya: Tulisan ini boleh dipergunakan dan diperbanyak, asalkan dengan menyebutkan sumbernya, serta tanpa mengubah, menambahi ataupun mengurangi bagian mana pun. 

Kecuali disebutkan lain, semua nats firman Tuhan dikutip dari Alkitab©TB-LAI, penebalan atau penyesuaian ditambahkan

 

PENDAHULUAN

Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng. (2 Timotius 4:3-4)

Alkitab sudah menubuatkan, bahwa akan datang waktunya orang akan lebih menyukai khotbah-khotbah dan ceramah-ceramah yang tidak sehat. Maksudnya, yaitu khotbah dan ceramah yang tidak menyehatkan kerohanian dan kehidupan orang-orang yang mendengarkannya; khotbah dan ceramah yang kosong (tak ada “isi”-nya), encer (tidak padat), dangkal, tidak mendewasakan, tidak mendatangkan pertumbuhan yang benar dan baik; khotbah dan ceramah yang disampaikan hanya untuk “memenuhi permintaan pasar” dan “memuaskan keinginan pelanggan”.

Hampir 20 tahun yang lalu, seusai Ibadah Minggu di sebuah gereja, seorang pria paruh baya menghampiri saya dan meminta nomor telepon saya. Beberapa hari kemudian dia menelepon saya dan mengajak saya untuk bertemu dan ngobrol-ngobrol. Lalu kami bertemu di sebuah rumah makan yang cukup mahal di suatu tempat. Pria ini memperkenalkan dirinya sebagai seorang pengusaha, dan dia mengungkapkan maksudnya meminta bertemu dengan saya. Orang ini mendapat visi dari Tuhan untuk merintis sebuah gereja baru. Dia sudah lama berdoa mengenai siapa hamba Tuhan yang akan dia ajak untuk menjadi partner-nya memulai gereja ini, dan dalam doanya dia yakin bahwa Tuhan telah menunjukkan saya kepadanya.

Saya mendengarkan dengan serius, namun tidak ada konfirmasi sama sekali di hati saya. Jadi saya minta waktu satu bulan untuk mendoakan hal ini. Sebulan kemudian kami bertemu lagi sambil makan di restoran yang lain. Dan saya masih belum mendapatkan konfirmasi apa pun dari Tuhan. Saya meminta waktu satu bulan lagi, dan belakangan ditambah satu bulan lagi, tetapi saya tetap tidak mendapatkan petunjuk apa pun dari Tuhan. Dan dalam rentang waktu dua bulan tambahan itu pengusaha ini sempat menyuruh sekretarisnya menanyakan kebutuhan saya mengenai rumah dan mobil, karena dia hendak membelikannya untuk saya. Bahkan dia sempat mengajak saya meninjau sebuah gedung besar (sekali lagi: gedung, bukan ruko!) berlantai lima yang memiliki aula luas di lantai dua (atau tiga, saya lupa) dan semua lantainya terhubung dengan lift. Pria ini berkata, bahwa saya cukup mengatakan setuju, maka dia akan langsung membeli gedung ini untuk menjadi gedung ibadah sekaligus kantor pusat sinode kami (dia mengajak saya untuk bahkan mendirikan sebuah sinode baru!).

Secara manusia, bagi saya sebagai seorang hamba Tuhan, tawaran ini sungguh luar biasa. Saya sungguh- sungguh berdoa mohon Tuhan memberikan tanda kepada saya, karena saya harus memberi jawaban kepada orang ini. Tetapi sampai hari kami bertemu kembali untuk yang keempat kalinya saya tetap belum menerima petunjuk apa pun dari Tuhan.  Sambil makan, bapak ini terus berusaha meyakinkan saya terhadap visinya itu. Dia meyakinkan saya bahwa saya tidak perlu risau atau pusing tentang apa pun. Tugas saya hanya satu, yaitu berkhotbah kepada jemaat yang dia yakin akan Tuhan kirimkan berlimpah ke gereja kami nanti, dan segala perkara yang lainnya akan menjadi urusan dan tanggungjawab dia sepenuhnya. Makanan sudah hampir habis dan saya harus segera memberikan jawaban. Saya berdoa di dalam hati, Oh Tuhan, tolong berikanlah sesuatu tanda atau petunjuk kepada saya!   Dan tanda itu pun datang.

Pria ini berkata, “You tidak usah pikirkan apa pun tentang mengurus gereja ini nanti. Saya yang akan bertanggungjawab atas semua hal. Segala kebutuhan apa pun akan saya sediakan. Yang penting you siapkan saja bahan untuk berkhotbah setiap hari Minggu, dan yang penting, jangan lupa: khotbahnya harus lucu!”

What??!  Saya berusaha menyembunyikan keterkejutan saya, lalu bertanya kepadanya, “Mengapa harus lucu, Pak?” Dia menjawab, “Kalau lucu, akan banyak orang yang datang. Kalau banyak orang yang datang, maka persembahannya akan besar. Dan kalau persembahannya besar, maka kita akan cepat balik modal…!!!”

Terima kasih, Tuhan!  Ini jawaban-Mu kepadaku!, teriak saya di dalam hati.

Saya menghabiskan bagian makanan saya, dan setelah sedikit kata-kata penjelasan, saya menjabat tangan pria ini dan berkata kepadanya bahwa saya yakin ini bukan visi Tuhan bagi saya. Kami berpisah dan saya tidak bertemu lagi dengannya. Beberapa tahun kemudian saya mendapat informasi bahwa pengusaha ini sudah menjadi pendeta dan bersama beberapa pendeta lain mereka mendirikan sebuah sinode baru dan membuka kebaktian-kebaktian di banyak tempat.

Khotbah yang lucu?!   Supaya banyak orang yang datang?!

Hari ini banyak sekali orang Kristen yang datang ke gereja bukan untuk makan (secara rohani), melainkan hanya untuk ngemil.  Mereka tidak menyukai makanan rohani yang padat, yaitu makanan rohani yang sungguh-sungguh menyehatkan dan mengenyangkan, tetapi lebih tertarik kepada “cemilan-cemilan” yang kosong, yang tak ada gizinya, yang hanya menarik dari segi “kemasan” dan “merek”-nya, tetapi yang seringkali sebenarnya adalah “racun” yang berbahaya bagi kesehatan rohani seseorang. Dan celakanya, di sisi lain, banyak pengkhotbah dan pembicara mimbar gereja yang menjadi ikut terseret ke dalam trend ini, bahkan akhirnya jadi menyukai permainan Iblis ini.

Hari ini ada banyak sekali khotbah seperti itu.  Saya berkali-kali mendengar khotbah yang hanya seperti obrolan kosong, sekedar menyebut ayat-ayat Alkitab  agar “lulus persyaratan untuk dapat disebut sebagai sebuah khotbah”.  Banyak sekali khotbah yang lebih mirip standing comedy, atau bahkan yang seperti sengaja dibuat menjadi panggung dagelan belaka ketimbang menjadi momen penting menyampaikan isi hati Tuhan dan mengajarkan kebenaran kepada umat-Nya.  (Walaupun di sisi lain, banyak juga khotbah yang kelihatannya disampaikan dengan sangat serius dan bersungguh-sungguh, tetapi sebenarnya nyaris tidak ada “isi”-nya, kepadatan isi khotbah tidak berbanding lurus dengan keseriusan sang pengkhotbah.)

Saya pribadi sungguh-sungguh merasa tidak pandai berkhotbah.  Namun demikian saya berpendapat, bahwa setiap kali kami para pengkhotbah ini berkhotbah, kami haruslah berusaha untuk menghidangkan setidak- tidaknya seporsi makanan rohani yang sehat dan cukup mengenyangkan.  Sesekali seorang pengkhotbah atau pengajar tentu bisa “gagal” dalam berkhotbah atau mengajar, hal itu adalah lumrah, tetapi jika khotbah yang sembarangan, kosong, apalagi kacau secara doktrinal, sudah menjadi warna atau tipikal yang melekat pada diri seorang pengkhotbah atau pengajar, maka hal itu perlu mendapatkan perhatian yang serius dari kita semua.

 

Makanan yang menyehatkan dan mendewasakan

Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus. Susu-lah yang kuberikan kepadamu, bukannya makanan keras, sebab kamu belum bisa menerimanya. Dan sekarang pun kamu belum dapat menerimanya.      (1 Korintus 3:1-2)

Istilah “makanan keras” di dalam ayat di atas berasal dari kata Yunani brw/ma (baca: broma) yang artinya “makanan, sesuatu untuk dimakan”.   Maksud sebenarnya dari istilah ini adalah “makanan betulan, makanan yang benar-benar makanan, bukan makanan ringan alias cemilan”!  Istilah ini juga menggambarkan “sesuatu yang untuk mengkonsumsinya itu harus dengan benar-benar dimakan, dengan dikunyah dan dicerna (bukan dengan diminum atau langsung ditelan, apalagi hanya dengan sekedar diicip-icip, dsb.)”.

Begitu juga, perhatikanlah nats berikut ini:

Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Tuhan, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik daripada yang jahat. (Ibrani 5:12-14)

Istilah “makanan keras” di dalam ayat itu berasal dari frasa Yunani στερεᾶς τροφῆς (baca: stereas trophes) yang seharusnya diterjemahkan menjadi “makanan padat”, atau lebih tepat lagi “makanan padat yang menyehatkan”.  Istilah “keras” dalam bahasa Indonesia, untuk konteks ayat ini, lebih banyak menimbulkan salah pengertian.   Orang lebih sering mengira bahwa yang dimaksudkan dengan “makanan keras” adalah khotbah atau pengajaran yang bersifat keras dan lugas, sebuah khotbah yang disampaikan dengan lantang, serta          berani menegur dosa atau membongkar suatu kesalahan secara terbuka; pendek kata sebuah khotbah yang “bernada keras, tegas, berani menempelak dosa secara terang-terangan dari atas mimbar”. Gambaran seperti inilah yang pada umumnya ada di dalam pikiran orang Kristen, sehingga ketika ada pengkhotbah atau pembicara di atas mimbar gereja berkhotbah dengan “keras”, “tegas”, bahkan mungkin “kasar”, maka jemaat menyangka bahwa inilah yang dimaksudkan oleh Alkitab sebagai “makanan keras”.  Padahal bukanlah begitu!

Oleh sebab itu, sekali lagi, frasa στερεᾶς τροφῆς ini seharusnya diterjemahkan menjadi ‘makanan padat’ dan bukan “makanan keras”. Itulah sebabnya istilah tersebut diperbandingkan dengan “susu”, yaitu makanan yang wujudnya “encer”.  Kontras dari makanan encer adalah makanan padat!  Makanan rohani yang encer diperuntukkan bagi “bayi”, yaitu orang-orang yang belum terlatih untuk mencerna kebenaran, karena mereka lebih menyukai hiburan dan permainan.  Persis seperti bayi dan kanak-kanak, mereka mengalami kesulitan dan merasa berat untuk menerima makanan yang padat, yaitu khotbah-khotbah yang “perlu dikunyah dan dicerna”, khotbah-khotbah yang membutuhkan pendengaran yang lebih serius, pemikiran dan perenungan yang lebih mendalam, serta sikap hati yang dewasa untuk memberikan respon yang layak. Ini adalah khotbah yang benar-benar membahas secara langsung teks-teks firman Tuhan, dan sesungguhnya inilah khotbah atau pengajaran yang —baik kualitas maupun kuantitasnya— “mengenyangkan dan mendewasakan”. 

Bayi-bayi dan kanak-kanak rohani seringkali meminjam alasan dari prinsip yang sebenarnya tidak salah, yaitu: “Kami lebih suka mendengarkan khotbah yang sederhana, yang lebih riil, lebih mengena secara langsung ke kehidupan sehari-hari, atau dengan kata lain khotbah-khotbah yang aktual dan kontekstual!” 

Khotbah-khotbah seperti itu selalu memiliki satu kesamaan: setiap ayat dan kebenaran yang dibahas harus disertai dengan contoh, cerita, atau kesaksian, dan jangan lupa: tambahkan sejumlah lelucon yang segar.  Tidak ada yang salah dengan khotbah yang aktual dan kontekstual, tak ada yang salah dengan contoh, cerita, ilustrasi, kesaksian, atau bahkan humor.  Semua itu sangat membantu para pendengar untuk mengerti firman Tuhan dengan lebih baik.  Tetapi, jika jemaat lebih memperhatikan bahkan mensyaratkan adanya cerita dan ilustrasi, atau menjadikan cerita dan ilustrasi sebagai alat atau alasan utama untuk bisa mengerti firman Tuhan, itu adalah kesalahan yang ngawur dan sangat berbahaya!   Saya sangat tidak yakin para nabi di zaman Perjanjian Lama,   para rasul Perjanjian Baru, serta para hamba Tuhan yang berkhotbah dan mengajar di masa gereja mula-mula menggunakan teknik dan metode ‘homiletika populer’ seperti itu. Periksalah kembali catatan Kisah Para Rasul serta surat-surat apostolik dan pastoral di dalam kitab-kitab Perjanjian Baru: tidak ada satu pun khotbah dan pengajaran di dalam gereja mula-mula yang mengandalkan metode seperti itu!  Satu-satunya pribadi di dalam Alkitab yang berkhotbah dan mengajar dengan menggunakan begitu banyak contoh dan ilustrasi adalah Tuhan Yesus… dan mengenai hal itu justru Alkitab memberitahukan alasannya:

Maka datanglah murid-murid-Nya dan bertanya kepada-Nya: "Mengapa Engkau berkata-kata kepada mereka dalam perumpamaan?" Jawab Yesus: "Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Sorga, tetapi kepada mereka tidak. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. Itulah sebabnya Aku berkata-kata dalam perumpamaan kepada mereka; karena sekalipun melihat, mereka tidak melihat, dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti. Maka pada mereka genaplah nubuat Yesaya, yang berbunyi: Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap. Sebab hati bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup; supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka. Tetapi berbahagialah matamu karena melihat dan telingamu karena mendengar. (Matius 13:10-16)

Dalam banyak perumpamaan yang semacam itu Ia memberitakan firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka, dan tanpa perumpamaan Ia tidak berkata-kata kepada mereka, tetapi kepada murid-murid-Nya Ia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri.  (Markus 4:33-34)

Murid-murid Yesus tidak membutuhkan perumpamaan, sebab Yesus mengetahui bahwa “mata mereka melihat dan telinga mereka mendengar”. Tetapi orang-orang lain membutuhkan perumpamaan, karena “hati mereka telah menebal, telinga mereka berat mendengar, dan mata mereka melekat tertutup”. Perumpamaan digunakan, oleh karena para pendengar itu masih kanak-kanak rohani, bahkan tidak mengenal kebenaran!

Saya percaya bahwa yang dimaksudkan dengan “tetapi kepada murid-murid-Nya Ia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri” adalah percakapan-percakapan yang bersifat mendalam, thoughtful, jauh dari khotbah-khotbah yang kosong atau sekedar entertaining.  Yesus berkhotbah dan mengajar tanpa mengandalkan teknik dan metode ‘homiletika populer’ seperti yang sekarang nampaknya sudah dipersyaratkan terhadap khotbah-khotbah zaman now.   Yesus berbicara lebih bersifat mengalir apa adanya dari hati-Nya yang terdalam. Saya sangat yakin akan hal itu!

Perhatikanlah juga kesaksian Rasul Paulus ini:

… ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata- kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Tuhan kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakin- kan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Tuhan.  (1 Korintus 2:1-5)

Dengan sangat jelas Paulus bersaksi bahwa ia tidak mengandalkan teknik dan metode berkhotbah tertentu yang populer, melainkan hanya bergantung kepada Pribadi Roh Kudus, supaya iman orang-orang yang mendengarkannya tidak bergantung pada hikmat manusia! Dengan sangat tegas Paulus mengingatkan bahwa ia tidak ada urusan apa pun dengan jemaat selain untuk memberitakan Yesus Kristus yang telah disalibkan   itu!  Para pengkhotbah dan pengajar masa kini harus memperhatikan hal ini!  Para jemaat yang bermental “customer yang harus diutamakan dan dipuaskan” harus memperhatikan hal ini dan bertobat!

Pada masa kini, berkhotbah dengan menggunakan aplikasi Power Point sudah menjadi trend populer. Saya sendiri berkali-kali terpesona mendengarkan beberapa teman pengajar yang berbicara dengan menggunakan aplikasi-aplikasi teknologi digital seperti itu.  Berbagai sarana, seperti aplikasi Power Point, dsb., dapat sangat membantu orang untuk lebih mengerti dan menerima suatu penyampaian. Tetapi, jika tanpa Power Point seorang pengkhotbah atau pengajar jadi merasa kurang mantap dalam menyampaikan kebenaran, maka ia keliru! Begitu pula sebaliknya, jika dengan penggunaan Power Point seorang pengkhotbah atau pengajar jadi merasa lebih baik, atau para jemaat jadi lebih menghargai sebuah pemberitaan, itu sungguh hal yang tidak boleh demikian!  Sebab, itulah yang Paulus maksudkan dengan “datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat manusia”.  Paulus sendiri justru telah datang ke Korintus “dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar”! Para pengkhotbah dan pengajar masa kini perlu merasa malu membaca pernyataan Rasul Paulus itu.  Saya sendiri lebih suka meyakini apa yang teman saya, seorang penginjil, katakan: Holy Spirit is my Power and Jesus is my Point!”   Betul sekali!  Itulah the true Power Point of every preacher and man of God!  

Gereja-gereja setempat perlu mulai membersihkan mimbar mereka, sama seperti setiap keluarga membersihkan meja makan di ruang makan rumah mereka, dan mulai menyajikan makanan ‘ajaran sehat’ bagi jemaat. Orangtua yang benar tidak boleh menyerahkan menu makan keluarga mereka sehari-hari kepada ‘selera jajan’ dan ‘keinginan yang sembarangan’ dari anak-anak mereka, melainkan ayah dan ibu akan berusaha untuk memberikan makanan yang terbaik untuk keluarga mereka setiap hari. Jika gereja mengundang pengkhotbah dan pengajar dengan berdasarkan “selera pasar”, berarti gereja melakukan tugas misi dan tanggung-jawab pastoralnya dengan takut kepada manusia, dan dengan demikian gereja menjadi tidak benar di hadapan Kristus, Sang Kepala Gereja.   Marana-tha!  (ytc)

Comments